Mengenal Bakteri Campylobacter: Penyebab Utama Diare Global

Campylobacter merupakan salah satu bakteri yang menjadi perhatian utama dalam dunia kesehatan masyarakat global. Bakteri ini adalah penyebab utama dari penyakit diare di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Meski terdengar kurang dikenal dibandingkan Salmonella atau E. coli, Campylobacter memiliki dampak signifikan terutama dalam hal kesehatan anak-anak dan sistem pangan.
Taksonomi dan Karakteristik Umum
Campylobacter adalah genus bakteri Gram-negatif, berbentuk spiral atau kurva, bersifat motil dengan flagela polar tunggal atau ganda. Bakteri ini bersifat mikroaerofilik, yang berarti membutuhkan kadar oksigen rendah untuk tumbuh. Suhu optimal pertumbuhannya berkisar antara 37°C hingga 42°C, menjadikannya cocok berkembang di usus unggas dan mamalia.
Jenis yang paling umum dan patogenik adalah Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli, dengan C. jejuni menjadi penyebab dominan infeksi pada manusia.
Epidemiologi Global dan Nasional
Menurut data dari World Health Organization (WHO) , Campylobacteriosis merupakan salah satu penyakit zoonosis paling umum di dunia. Setiap tahunnya, jutaan kasus infeksi Campylobacter tercatat, dengan mayoritas berasal dari negara-negara berkembang. Di Indonesia, meskipun data epidemiologis masih terbatas, beberapa penelitian lokal mengindikasikan angka kejadian yang cukup tinggi terutama di daerah padat penduduk dan dengan sanitasi buruk.
Dr. Anna O. Wirawan, seorang mikrobiolog dari Universitas Indonesia , menyatakan bahwa “infeksi Campylobacter di Indonesia kemungkinan besar underreported karena keterbatasan kapasitas diagnosis di fasilitas pelayanan kesehatan primer.”
Cara Penularan
Campylobacter menyebar terutama melalui konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi. Unggas yang tidak dimasak dengan sempurna, susu mentah, dan air yang tidak diolah adalah sumber utama. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi, seperti anjing dan kucing, atau orang yang sudah terinfeksi (fekal-oral).
Kebiasaan mencuci tangan yang buruk, pengolahan makanan yang tidak higienis, serta sanitasi yang minim menjadi faktor risiko penting.
Gejala Klinis Infeksi Campylobacter
Gejala infeksi Campylobacter (campylobacteriosis) biasanya muncul 2-5 hari setelah paparan dan meliputi:
- Diare (sering berdarah)
- Nyeri perut hebat
- Demam
- Mual dan muntah
- Rasa lelah dan malaise
Pada sebagian besar kasus, penyakit ini bersifat self-limiting, artinya dapat sembuh sendiri dalam waktu 5-7 hari tanpa pengobatan antibiotik. Namun, pada kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan individu dengan sistem imun lemah, komplikasi serius bisa terjadi.
📚 Baca Juga
- Lactobacillus: Bakteri Baik Penjaga Kesehatan Usus dan Tubuh
- Produk AFC Life Science yang Bisa Menyembuhkan Penyakit Polio: Solusi Alami dan Inovatif
- Apa yang Membedakan Virus COVID-19 dengan Virus HMPH China, dan Bagaimana Dampaknya?
- Kram Perut: Penyebab, Gejala, dan Cara Mengatasinya
- Gejala Asma: Panduan Lengkap
Komplikasi yang Mungkin Terjadi
Beberapa komplikasi akibat infeksi Campylobacter meliputi:
- Sindrom Guillain-Barré (GBS): Kondisi autoimun langka yang bisa menyebabkan kelumpuhan.
- Artritis reaktif: Peradangan sendi yang muncul setelah infeksi.
- Infeksi sistemik: Terutama pada pasien imunokompromais.
Dr. Rudi Hartono dari RSUP Dr. Sardjito menyebutkan, “Walaupun kasus Guillain-Barré pasca infeksi Campylobacter jarang, namun dampaknya bisa sangat berat dan memerlukan perawatan intensif.”
Diagnosis dan Deteksi Laboratorium
Diagnosa infeksi Campylobacter biasanya dilakukan melalui:
- Pemeriksaan kultur tinja: Gold standard, meskipun memerlukan media khusus dan kondisi mikroaerofilik.
- PCR (Polymerase Chain Reaction): Lebih sensitif dan cepat, meskipun masih terbatas penggunaannya di daerah terpencil.
- Tes antibodi (serologi): Kadang digunakan, namun tidak seakurat kultur atau PCR.
Penting untuk membedakan Campylobacter dari penyebab lain diare, seperti Shigella, E. coli, atau Rotavirus, karena pendekatan penanganannya bisa berbeda.
Pengobatan dan Manajemen Klinis
Sebagian besar pasien cukup ditangani dengan rehidrasi oral dan istirahat. Namun, antibiotik seperti azitromisin atau eritromisin dapat diberikan pada kasus berat atau kelompok rentan.
WHO menyarankan bahwa penggunaan antibiotik harus selektif dan berdasarkan hasil uji sensitivitas, guna menghindari resistensi antimikroba yang semakin meningkat.
Pencegahan dan Pengendalian
Beberapa langkah penting untuk mencegah infeksi Campylobacter antara lain:
- Memasak makanan dengan benar: Terutama unggas.
- Menghindari konsumsi susu mentah dan air yang tidak dimasak.
- Menjaga kebersihan tangan dan alat masak.
- Memisahkan makanan mentah dan matang saat penyimpanan.
- Peningkatan sanitasi dan akses air bersih.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah memasukkan peningkatan keamanan pangan sebagai salah satu strategi nasional pengendalian penyakit zoonosis.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Infeksi Campylobacter, meskipun tergolong penyakit akut yang dapat sembuh, menimbulkan beban ekonomi melalui biaya pengobatan, kehilangan produktivitas kerja, dan beban sistem kesehatan. Di negara berkembang, dampaknya terhadap gizi anak dan pertumbuhan juga menjadi perhatian.
Menurut kajian yang dipublikasikan di jurnal The Lancet Infectious Diseases, Campylobacter termasuk dalam 5 besar penyebab penyakit bawaan makanan secara global.
Tantangan dalam Penanggulangan
Tantangan utama dalam pengendalian Campylobacter di Indonesia antara lain:
- Kurangnya kesadaran masyarakat.
- Keterbatasan laboratorium mikrobiologi.
- Tidak adanya sistem surveilans nasional yang komprehensif.
- Ketergantungan pada sistem pangan informal.
Diperlukan pendekatan multisektor, termasuk sektor peternakan, kesehatan masyarakat, dan pendidikan untuk mengatasi tantangan ini secara holistik.
Kesimpulan
Campylobacter adalah ancaman nyata terhadap kesehatan masyarakat, terutama melalui makanan dan air yang terkontaminasi. Meskipun banyak kasus bersifat ringan, potensi komplikasi serius dan penyebaran yang luas menjadikan bakteri ini perlu mendapatkan perhatian khusus. Pengetahuan masyarakat, peningkatan diagnosis, serta koordinasi lintas sektor adalah kunci pengendalian infeksi ini di masa depan.
Sebagaimana dikatakan oleh WHO dalam salah satu laporannya, “Mengurangi beban penyakit zoonosis seperti Campylobacter membutuhkan keterlibatan seluruh sistem pangan, dari peternakan hingga meja makan.”